PENGANTAR
Isu lingkungan hidup, telah menjadi pengetahuan yang sangat meluas, tidak
hanya dirasakan oleh orang-orang yang berpendidikkan, melainkan juga oleh
mereka yang dikatakan awam. Namun demikian, kesadaran terhadap Pemeliharaan, pengelolaan, dan pelestariannya masih sangat
terbatas. Upaya menarik perhatian masyarakat umum terhadap lingkungan,
khususnya terhadap masalahnya, baru bersifat Seremonial dalam upacara-upacara
yang menghamburkan biaya, dan slogan-slogan yang "Tidak" bermakna.
Kebijakan publik yang berupa peraturan-peraturan sampai pada undang-undang
tentang lingkungan hidup, sudah ada, tetapi pelaksanaannya di lapangan, masih
Jauh dari ketentuan yang seharusnya. Oleh karena itu, perusakan lingkungan
dengan segala akibatnya, termasuk "isu pemanasan global" akan terus
berlangsung. Upacara penanaman berjuta pohon di berbagai tempat dilakukan,
namun pembalakan liar, terus berlangsung. Pertumbuhan berjuta pohon untuk
menjadi kawasan yang hijau, akan memakan waktu bertahun-tahun, itu pun jika
dipelihara dan dikelola. Sementara itu pembabatan liar yang menghabiskan hutan
"kalau masih ada", hanya dengan hitungan menit sampai hari.
Untuk mengatasi masalah lingkungan yang sangat memprihatinkan saat ini
dalam berbagai bentuk dan dampaknya, harus ada upaya tegas yang nyata dari
segala pihak, termasuk orang tua, tokoh masyarakat, guru, terutama para
pemegang kebijakan. Tidak justru pemegang kebijakan itu terlibat dalam
perusakan lingkungan tersebut.
MANUSIA DAN LINCKUNGAN HIDUP
Sejak lahir, manusia tidak terlepas dari lingkungan, bahkan kelahirannya
itu ada di tengah-tengah lingkungan. Ibu yang melahirkan (lingkungan sosial),
udara yang dihirup dan air yang diminum (lingkungan alam), pakaian serta
peralatan yang digunakan pada waktu persalinan (lingkungan budaya), merupakan
sumberdaya lingkungan bagi si bayi yang lahir tadi. Disadari ataupun tidak,
sejak lahir sampai akhir hayat, manusia ada di tengah-tengah lingkungan sebagai
sumberdaya yang menjamin hidupnya. Dengan demikian, sesungguhnya manusia memiliki
kewajiban mengelola dan menjaga kelestarian serta kesinambungan lingkungan
sebagai sumberdaya, tidak hanya bertindak sebagai konsumen yang jauh dari
tanggungiawab.
Manusia sebagai penduduk permukaan bumi, usianya relatif masih muda bila
dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain (tumbuh-tumbuhan, binatang) yang
kehariranya paling tidak 1,5 miliar tahun yang lampau. Dalam jangka waktu yang
relatif singkat, yaitu sekitar 350 sampai 350 tahun yang lampau, dimulai dari
tahun 1650, saat terjadinya revolusi hijau sampai sekarang, pertumbuhan
penduduk sangat cepat, dan penerapan serta pemanfaatan IPTEK juga makin
meningkat. Namun di sisi lain, kemampuan sumberdaya lingkungan, justru
makin menurun. Dewasa ini manusia penghuni permukaan bumi, khususnya di Indonesia,
sedang mengalami multi krisis, yang meliputi krisis energi, krisis bahan
pangan, krisis lapangan kerja, krisis akhlak, termasuk krisis lingkungan hidup.
Kondisi negatif yang demikian itu, merupakan ancaman bagi kehidupan umat
manusia yang salah satunya manusia penduduk Nusantara Indonesia. Tanpa antisipasi
yang meyakinkan terhadap penanggulangan krisis-krisis tersebut, lambat ataupun
cepat, menjadi ancaman bagi kehidupan penduduk Indonesia. Kenyataan yang sedang
kita alami saat ini, menjadi masalah dan sekaligus juga menjadi tantangan bagi
kita semua, terutama bagi dunia pendidikan di Indonesia. ”Mengapa demikian ?” Jawabannya
yaitu, bahwa pendidikan, khususnya pendidikan lingkungan hidup (PLH) memiliki
kedudukan yang strategis mengembangkan kesadaran dan keterampilan penduduk,
khususnya peserta didik terhadap penanggulangan masalah lingkungan. Bahkan
lebih jauh lagi dalam mencari upaya pemanfaatan lingkungan itu sebagai
sumberdaya yang menjamin kehidupan, antara lain dengan pengembangan
"teknologi daur ulang" dan "energi alternatif".
ETIKA LINGKUNGAN
Al Khalik Maha Kuasa, menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna. Sebagai makhluk hidup, manusia dilengkapi oleh akal-pikiran yang
berkembang dan dapat dikembangkan. Selain dari pada itu, manusia dilengkapi
oleh qalbu yang mampu mendalami hal-hal yang tidak terjangkau oleh daya
rasional akal-pikiran.
Perpaduan antara akal-pikiran dengan qalbu atau hati nurani, mengembangkan
budaya sebagai karakter otentik manusia. Dalam konteks masyarakat, budaya ini
menjadi landasan nilai-moral yang merupakan kebaikan manusia sebagai manusia,
yaitu makhluk yang beradab dan berbudaya. Dalam berhadapan dengan pihak lain,
nilai-moral ini berkembang menjadi "Etika", berupa aturan-aturan
nilai norma sebagai landasan kemunikasi-interaksi. Pihak lain di luar individu
manusia, yaitu lingkungan. Dengan demikian, yang dikonsepkan sebagai "Etika
lingkungan", yaitu
aturan-aturan norma nilai-moral manusia dalam berhadapan dengan lingkungan.
Pada konteks ekologi ekosistem, penerapan etika lingkungan ini, tidak terlepas
dari asas-asas ekologi yang meliputi keseimbangan, keserasian, kesinambungan,
dan kelestarian. Oleh karena itu, komunikasi-interaksi manusia dengan lingkungan
dalam bentuk eksplorasi, eksploitasi, produksi dan konsumsi sesuai dengan etika
lingkungan, tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan asas-asas ekologi. Apabila
proses-mekanisme pemanfaatan lingkungan itu berlandaskan etika lingkungan,
masalah lingkungan dalam berbagai bentuknya (erosi, banjr, kekeringan, tanah
longsor, kelangkaan energi, polusi), dapat dihindarkan. Ketidakpedulian manusia
terhadap penerapan etika lingkungan, merupakan sebab utama terjadinya masalah
lingkungan yang mengglobal.
NILAI TRADISIONAL SEBAGAI ETIKA
LINGKUNGAN
Nilai-nilai tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhur,
yang biasa dikonsepkan sebagai "kearifan lokal" (lokal genius), bila
dikaji secara ilmiah, memiliki makna sebagai etika lingkungan. Kearifan lokal
itu, antara lain "tabu atau pantangan" kepada tumbuhan-tumbuhan dan
atau binatang-binatang tertentu, mengangkerkan suatu fenomena alam tertentu
seperti hutan, sungai, danau dan binatang tertentu. Karena pewarisan
nilai-nilai tadi oleh orang tua kepada anak-anaknya tidak melalui proses
rasional-argumentatif yang masuk akal, oleh generasi sekarang sebagai suatu hal
yang "takhayul". Akibatnya kearifan-kearifan lokal tadi diabaikan,
bahkan dibobrak. Dampak lebih jauh terabaikannya nilai-nilai tradisional
sebagai kearifan lokal, terjadi berbagai ketimpangan ekologis dalam bentuk
erosi, tanah longsor, banjir, kekeringan, hama, termasuk berbagai jenis wabah
yang mengancam kehidupan, terutama kehidupan manusia.
Secara alamiah sesuai dengan hukum alam, dalam kehidupan ini terjadi berbagai
siklus yang dikenal sebagai "Siklus biogeokimia-fisika", Dalam siklus
tadi terlibat unsur-unsur kehidupan (tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia),
fenomena geosfer (udara, air, batuan), proses kimiawi (analitik, sintetik,
oksidasi, reduksi), dan fenomina fisikal (pemanasan, pendinginan, pembekuan,
pengembunan, sublimasi, dinamika). Semua komponen dan fenomena yang ada dalam
ekosistem, termasuk energi matahari, terlibat secara alamiah pada proses siklus
biogeokimia fisika tadi. Oleh karena itu, apabila salah satu komponen atau
fenomena dalam ekosistem itu terganggu atau bahkan secara sengaja diganggu (dikurangi,
dimusnahkan), akan terjadi ketimpangan ekologi dalam berbagai bentuk yang
mengganggu kehidupan, bahkan terjadi bencana yang mengancam tatanan kehidupan
tadi. Di sinilah makna nilai-nilai tradisional dalam konsep kearifan lokal
tadi. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan kajian ilmiah, kearifan lokal
tadi "Wajib" dianalisis untuk mengungkapkan mekanisme serta dampaknya
bagi kehidupan, khususnya kelangsungan serta kesinambungan hidup umat manusia.
Demikianlah makna nilai-nilai tradisional yang dikonsepkan sebagai kearifan
lokal, analisis ilmiah, dan kedudukannya bagi kesejahteraan hidup umat manusia.
PERANAN PENDIDIKAN MENGEMBANGKAN ETIKA
LINGKUNGAN
Secara populer, pendidikan bermakna "proses pematangan dan pendewasaan
peserta didik mengubah perilaku dan pola pikirnya". Oleh karena itu,
pendidikan ini menjadi kewajiban semua pihak, secara informal merupakan
kewajiban orang tua dalam keluarga, nonformal oleh para tokoh masyarakat, dan
secara formal menjadi kewajiban guru dengan perangkat yang terkait.
Ditinjau dari sosial-budaya dan mental-spiritual, pendidikan itu terutama
membina kemanusiaan dalam menanamkan serta mengembangkan nilai-moral yang
selanjutnya juga kepada etika bertindak dan berperilaku. Dalam konteks etika
lingkungan hidup, pendidikan tersebut dikonsepkan sebagai pendidikan lingkungan
hidup (PLH). Pada prosesnya, konsep PLH itu mengalami perkembangan sebagai
berikut :
Untuk pertama kali, PLH itu diperkenalkan pada konfrensi International
of Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) di Zurich,
tanggal 15 - 18 Desember 1971 (Unesco: 1972: 25) sebagai berikut:
Environmental
education is the process of recognizing values and clarifying concepts in order
to develop the skill and attitudes that are necessary to understand and
appreciate the interrelation among man, his culture, and his biophysical
surroundings. Environmental education, also entails practice in
decision-making, and the self-formation of code of behavior about the issues concerning
environmental quality.
Sementara itu,
rumusan PLH yang lebih aktual, tersurat pada ASEAN Environmental Education
Action Plan 2001 - 2005 (ASEAN Secretariat: 2001: 1), berikut ini :
Enviromental
education is the process of helping people through formal and nonformal/informal
education to acquire understanding, skills, and values that will enable them to
participate as active and informed citizens in the development of ecologically
sustainable and socially just society.
Selanjutnya,
rumusan PLH yang lebih terarah pada pemecahan masalah lingkungan, tersurat pada
definisi yang disusun pada Intergovernmental Conference on Environmental
Education di Tblis tahun 1977 (Ko Nomura, Latifah Hendarti, editor: 2005:
28) sebagai berikut :
Environmental
education is the process of developing a world population that is aware of and
concerned about the total environment and its associated problems, and which
has the knowledge, skills, attitudes, motivation, and commitment to work individually
and collectively towards solutions to current problems and the prevention of new ones.
Dari
rumusan-rumusan di atas, PLH dapat disimpulkan sebagai "Proses Penanama nilai, pembinaan sikap dan keterampilan,
motivasi, serta kepedulian dalam bertindak, Baik secara individual maupun
berkelompok untuk membuat keputusan menanggulangi Masalah-masalah lingkungan yang
mengancam kehidupan hari ini dan di hari-hari yang akan datang".
Selanjutnya, PLH ini juga diarahkan pada "Pembinaan
dan pengembangan pemberdayaan Masyarakat sebagaii warga negara terhadap
kedudukan dan fungsi lingkungan sebagai sumberdaya yang menjamin kehidupan umat
manusia”.
Dalam rumusan
dan konsep PLH, terdapat ungkapan mengenali dan menanamkan nilai-nilai serta
membina-mengembangkan sikap. Oleh karena itu juga termasuk penanaman
dan pembinaan etika lingkungan. Atau secara tersirat, etika lingkungan ini
tercermin pada formulasi diri, kepedulian terhadap pemecahan masalah. Secara
bertahap dan berkesinambungan, pembinaan etika lingkungan itu dimulai secara
informal dalam keluarga, nonformal di masyarakat, dan secara formal di sekolah
serta di lembaga-lembaga formal lainnya.
Penanaman dan pengembangan "kearifan lokal" yang erat hubungannya
dengan etika lingkungan, disajikan dalam proses dan mekanisme pendidikan, mulai
dalam keluarga, di masyarakat, di sekolah serta dimanapun suasana pendidikan,
khususnya PLH dapat dilakukan. Penanaman dan pembinaan ini, tidak hanya
terbatas kepada peserta didik usia sekolah, melainkan kepada siapa saja sebagai
masyarakat umum yang menjadi komponen lingkungan. Dengan demikian, etika
lingkungan ini melekat dalam diri tiap warga yang akan terpancar sebagai cerminan
kesadaran, kepedulian, dan tanggungjawab terhadap pengelolaan lingkungan
sebagai sumberdaya yang menjamin keberlanjutan kehidupan manusia dalam konteks
ruang dan waktu.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan, dengan harapan ada manfaatnya
bagi kita semua yang memiliki kepedulian dan tanggungjawab terhadap kelestarian
lingkungan sebagai sumberdaya penjamin kelangsungan hidup yang sejahtera umat
manusia di Planet Bumi. Akhirnya saya sampaikan selamat berseminar, dan
bermakna bagi kelangsungan hidup umat manusia secara sejahtera lahir-batin.
Amin.
PUSTAKA RUJUKAN
Ko Nomura, Latifah Hendarti (2005) Environmental Education and NGOs in
Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nursid Sumaatmadja (2002) Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi,
Bandung : Penerbit Alfabeta.
---------(2003) Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkunggn hidup,
Bandung: Penerbit Alfabeta.
Unesco (1972) Nature
and Resources, Vol. V111, No. 39 July-September 1972, Paris .
No comments:
Post a Comment