Friday, May 29, 2015

ETIKA LINGKUNGAN

PENGANTAR
Isu lingkungan hidup, telah menjadi pengetahuan yang sangat meluas, tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang berpendidikkan, melainkan juga oleh mereka yang dikatakan awam. Namun demikian, kesadaran terhadap Pemeliharaan,  pengelolaan, dan pelestariannya masih sangat terbatas. Upaya menarik perhatian masyarakat umum terhadap lingkungan, khususnya terhadap masalahnya, baru bersifat Seremonial dalam upacara-upacara yang menghamburkan biaya, dan slogan-slogan yang "Tidak" bermakna.
Kebijakan publik yang berupa peraturan-peraturan sampai pada undang-undang tentang lingkungan hidup, sudah ada, tetapi pelaksanaannya di lapangan, masih Jauh dari ketentuan yang seharusnya. Oleh karena itu, perusakan lingkungan dengan segala akibatnya, termasuk "isu pemanasan global" akan terus berlangsung. Upacara penanaman berjuta pohon di berbagai tempat dilakukan, namun pembalakan liar, terus berlangsung. Pertumbuhan berjuta pohon untuk menjadi kawasan yang hijau, akan memakan waktu bertahun-tahun, itu pun jika dipelihara dan dikelola. Sementara itu pembabatan liar yang menghabiskan hutan "kalau masih ada", hanya dengan hitungan menit sampai hari.
Untuk mengatasi masalah lingkungan yang sangat memprihatinkan saat ini dalam berbagai bentuk dan dampaknya, harus ada upaya tegas yang nyata dari segala pihak, termasuk orang tua, tokoh masyarakat, guru, terutama para pemegang kebijakan. Tidak justru pemegang kebijakan itu terlibat dalam perusakan lingkungan tersebut.

MANUSIA DAN LINCKUNGAN HIDUP
Sejak lahir, manusia tidak terlepas dari lingkungan, bahkan kelahirannya itu ada di tengah-tengah lingkungan. Ibu yang melahirkan (lingkungan sosial), udara yang dihirup dan air yang diminum (lingkungan alam), pakaian serta peralatan yang digunakan pada waktu persalinan (lingkungan budaya), merupakan sumberdaya lingkungan bagi si bayi yang lahir tadi. Disadari ataupun tidak, sejak lahir sampai akhir hayat, manusia ada di tengah-tengah lingkungan sebagai sumberdaya yang menjamin hidupnya. Dengan demikian, sesungguhnya manusia memiliki kewajiban mengelola dan menjaga kelestarian serta kesinambungan lingkungan sebagai sumberdaya, tidak hanya bertindak sebagai konsumen yang jauh dari tanggungiawab.
Manusia sebagai penduduk permukaan bumi, usianya relatif masih muda bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain (tumbuh-tumbuhan, binatang) yang kehariranya paling tidak 1,5 miliar tahun yang lampau. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, yaitu sekitar 350 sampai 350 tahun yang lampau, dimulai dari tahun 1650, saat terjadinya revolusi hijau sampai sekarang, pertumbuhan penduduk sangat cepat, dan penerapan serta pemanfaatan IPTEK juga makin meningkat. Namun di sisi lain, kemampuan sumberdaya lingkungan, justru makin menurun. Dewasa ini manusia penghuni permukaan bumi, khususnya di Indonesia, sedang mengalami multi krisis, yang meliputi krisis energi, krisis bahan pangan, krisis lapangan kerja, krisis akhlak, termasuk krisis lingkungan hidup. Kondisi negatif yang demikian itu, merupakan ancaman bagi kehidupan umat manusia yang salah satunya manusia penduduk Nusantara Indonesia. Tanpa antisipasi yang meyakinkan terhadap penanggulangan krisis-krisis tersebut, lambat ataupun cepat, menjadi ancaman bagi kehidupan penduduk Indonesia. Kenyataan yang sedang kita alami saat ini, menjadi masalah dan sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita semua, terutama bagi dunia pendidikan di Indonesia. ”Mengapa demikian ?” Jawabannya yaitu, bahwa pendidikan, khususnya pendidikan lingkungan hidup (PLH) memiliki kedudukan yang strategis mengembangkan kesadaran dan keterampilan penduduk, khususnya peserta didik terhadap penanggulangan masalah lingkungan. Bahkan lebih jauh lagi dalam mencari upaya pemanfaatan lingkungan itu sebagai sumberdaya yang menjamin kehidupan, antara lain dengan pengembangan "teknologi daur ulang" dan "energi alternatif".

ETIKA LINGKUNGAN
Al Khalik Maha Kuasa, menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Sebagai makhluk hidup, manusia dilengkapi oleh akal-pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan. Selain dari pada itu, manusia dilengkapi oleh qalbu yang mampu mendalami hal-hal yang tidak terjangkau oleh daya rasional akal-pikiran.
Perpaduan antara akal-pikiran dengan qalbu atau hati nurani, mengembangkan budaya sebagai karakter otentik manusia. Dalam konteks masyarakat, budaya ini menjadi landasan nilai-moral yang merupakan kebaikan manusia sebagai manusia, yaitu makhluk yang beradab dan berbudaya. Dalam berhadapan dengan pihak lain, nilai-moral ini berkembang menjadi "Etika", berupa aturan-aturan nilai norma sebagai landasan kemunikasi-interaksi. Pihak lain di luar individu manusia, yaitu lingkungan. Dengan demikian, yang dikonsepkan sebagai "Etika lingkungan",  yaitu aturan-aturan norma nilai-moral manusia dalam berhadapan dengan lingkungan. Pada konteks ekologi ekosistem, penerapan etika lingkungan ini, tidak terlepas dari asas-asas ekologi yang meliputi keseimbangan, keserasian, kesinambungan, dan kelestarian. Oleh karena itu, komunikasi-interaksi manusia dengan lingkungan dalam bentuk eksplorasi, eksploitasi, produksi dan konsumsi sesuai dengan etika lingkungan, tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan asas-asas ekologi. Apabila proses-mekanisme pemanfaatan lingkungan itu berlandaskan etika lingkungan, masalah lingkungan dalam berbagai bentuknya (erosi, banjr, kekeringan, tanah longsor, kelangkaan energi, polusi), dapat dihindarkan. Ketidakpedulian manusia terhadap penerapan etika lingkungan, merupakan sebab utama terjadinya masalah lingkungan yang mengglobal.

NILAI TRADISIONAL SEBAGAI ETIKA LINGKUNGAN
Nilai-nilai tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhur, yang biasa dikonsepkan sebagai "kearifan lokal" (lokal genius), bila dikaji secara ilmiah, memiliki makna sebagai etika lingkungan. Kearifan lokal itu, antara lain "tabu atau pantangan" kepada tumbuhan-tumbuhan dan atau binatang-binatang tertentu, mengangkerkan suatu fenomena alam tertentu seperti hutan, sungai, danau dan binatang tertentu. Karena pewarisan nilai-nilai tadi oleh orang tua kepada anak-anaknya tidak melalui proses rasional-argumentatif yang masuk akal, oleh generasi sekarang sebagai suatu hal yang "takhayul". Akibatnya kearifan-kearifan lokal tadi diabaikan, bahkan dibobrak. Dampak lebih jauh terabaikannya nilai-nilai tradisional sebagai kearifan lokal, terjadi berbagai ketimpangan ekologis dalam bentuk erosi, tanah longsor, banjir, kekeringan, hama, termasuk berbagai jenis wabah yang mengancam kehidupan, terutama kehidupan manusia.
 Secara alamiah sesuai dengan hukum alam, dalam kehidupan ini terjadi berbagai siklus yang dikenal sebagai "Siklus biogeokimia-fisika", Dalam siklus tadi terlibat unsur-unsur kehidupan (tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia), fenomena geosfer (udara, air, batuan), proses kimiawi (analitik, sintetik, oksidasi, reduksi), dan fenomina fisikal (pemanasan, pendinginan, pembekuan, pengembunan, sublimasi, dinamika). Semua komponen dan fenomena yang ada dalam ekosistem, termasuk energi matahari, terlibat secara alamiah pada proses siklus biogeokimia fisika tadi. Oleh karena itu, apabila salah satu komponen atau fenomena dalam ekosistem itu terganggu atau bahkan secara sengaja diganggu (dikurangi, dimusnahkan), akan terjadi ketimpangan ekologi dalam berbagai bentuk yang mengganggu kehidupan, bahkan terjadi bencana yang mengancam tatanan kehidupan tadi. Di sinilah makna nilai-nilai tradisional dalam konsep kearifan lokal tadi. Oleh karena itu, melalui pendekatan dan kajian ilmiah, kearifan lokal tadi "Wajib" dianalisis untuk mengungkapkan mekanisme serta dampaknya bagi kehidupan, khususnya kelangsungan serta kesinambungan hidup umat manusia.
Demikianlah makna nilai-nilai tradisional yang dikonsepkan sebagai kearifan lokal, analisis ilmiah, dan kedudukannya bagi kesejahteraan hidup umat manusia.

PERANAN PENDIDIKAN MENGEMBANGKAN ETIKA LINGKUNGAN
Secara populer, pendidikan bermakna "proses pematangan dan pendewasaan peserta didik mengubah perilaku dan pola pikirnya". Oleh karena itu, pendidikan ini menjadi kewajiban semua pihak, secara informal merupakan kewajiban orang tua dalam keluarga, nonformal oleh para tokoh masyarakat, dan secara formal menjadi kewajiban guru dengan perangkat yang terkait.
Ditinjau dari sosial-budaya dan mental-spiritual, pendidikan itu terutama membina kemanusiaan dalam menanamkan serta mengembangkan nilai-moral yang selanjutnya juga kepada etika bertindak dan berperilaku. Dalam konteks etika lingkungan hidup, pendidikan tersebut dikonsepkan sebagai pendidikan lingkungan hidup (PLH). Pada prosesnya, konsep PLH itu mengalami perkembangan sebagai berikut :
Untuk pertama kali, PLH itu diperkenalkan pada konfrensi International of Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) di Zurich, tanggal 15 - 18 Desember 1971 (Unesco: 1972: 25) sebagai berikut:
Environmental education is the process of recognizing values and clarifying concepts in order to develop the skill and attitudes that are necessary to understand and appreciate the interrelation among man, his culture, and his biophysical surroundings. Environmental education, also entails practice in decision-making, and the self-formation of code of  behavior about the issues concerning environmental quality.
Sementara itu, rumusan PLH yang lebih aktual, tersurat pada ASEAN Environmental Education Action Plan 2001 - 2005 (ASEAN Secretariat: 2001: 1), berikut ini :
Enviromental education is the process of helping people through formal and nonformal/informal education to acquire understanding, skills, and values that will enable them to participate as active and informed citizens in the development of ecologically sustainable and socially just society.
Selanjutnya, rumusan PLH yang lebih terarah pada pemecahan masalah lingkungan, tersurat pada definisi yang disusun pada Intergovernmental Conference on Environmental Education di Tblis tahun 1977 (Ko Nomura, Latifah Hendarti, editor: 2005: 28) sebagai berikut :
Environmental education is the process of developing a world population that is aware of and concerned about the total environment and its associated problems, and which has the knowledge, skills, attitudes, motivation, and commitment to work individually and collectively towards solutions to current  problems and the prevention of new ones.
Dari rumusan-rumusan di atas, PLH dapat disimpulkan sebagai "Proses Penanama nilai, pembinaan sikap dan keterampilan, motivasi, serta kepedulian dalam bertindak, Baik secara individual maupun berkelompok untuk membuat keputusan menanggulangi Masalah-masalah lingkungan yang mengancam kehidupan hari ini dan di hari-hari yang akan datang". Selanjutnya, PLH ini juga diarahkan pada "Pembinaan dan pengembangan pemberdayaan Masyarakat sebagaii warga negara terhadap kedudukan dan fungsi lingkungan sebagai sumberdaya yang menjamin kehidupan umat manusia”.
Dalam rumusan dan konsep PLH, terdapat ungkapan mengenali dan menanamkan nilai-nilai serta membina-mengembangkan sikap. Oleh karena itu juga termasuk penanaman dan pembinaan etika lingkungan. Atau secara tersirat, etika lingkungan ini tercermin pada formulasi diri, kepedulian terhadap pemecahan masalah. Secara bertahap dan berkesinambungan, pembinaan etika lingkungan itu dimulai secara informal dalam keluarga, nonformal di masyarakat, dan secara formal di sekolah serta di lembaga-lembaga formal lainnya.
Penanaman dan pengembangan "kearifan lokal" yang erat hubungannya dengan etika lingkungan, disajikan dalam proses dan mekanisme pendidikan, mulai dalam keluarga, di masyarakat, di sekolah serta dimanapun suasana pendidikan, khususnya PLH dapat dilakukan. Penanaman dan pembinaan ini, tidak hanya terbatas kepada peserta didik usia sekolah, melainkan kepada siapa saja sebagai masyarakat umum yang menjadi komponen lingkungan. Dengan demikian, etika lingkungan ini melekat dalam diri tiap warga yang akan terpancar sebagai cerminan kesadaran, kepedulian, dan tanggungjawab terhadap pengelolaan lingkungan sebagai sumberdaya yang menjamin keberlanjutan kehidupan manusia dalam konteks ruang dan waktu.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan, dengan harapan ada manfaatnya bagi kita semua yang memiliki kepedulian dan tanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya penjamin kelangsungan hidup yang sejahtera umat manusia di Planet Bumi. Akhirnya saya sampaikan selamat berseminar, dan bermakna bagi kelangsungan hidup umat manusia secara sejahtera lahir-batin.
Amin.


PUSTAKA RUJUKAN
Ko Nomura, Latifah Hendarti (2005) Environmental Education and NGOs in Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nursid Sumaatmadja (2002) Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung : Penerbit Alfabeta.
---------(2003) Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkunggn hidup, Bandung: Penerbit Alfabeta.

Unesco (1972) Nature and Resources, Vol. V111, No. 39 July-September 1972, Paris.

No comments: